Penulis : Andri
PKD - Sepuluh tahun pertama dalam abad ke-21 ini kita menjadi saksi perubahan iklim yang terjadi begitu drastis. Badai yang menyapu dataran Eropa dan Amerika, gelombang panas yang menyapu Amerika Latin dan benua Australia, banjir, longsor, serta cuaca yang hampir tidak mengenal pola melanda hampir seluruh muka bumi. Semua negarawan dan ilmuwan kemudian sepakat jika fenomena ini muncul sebagai reaksi alam atas disa-dosa dan kekeliruan kelirunya kita dalam memperhatikan keseimbangan ekologis dalam melaksanakan pembangunan.
Pada dekade 90-an kita mengenal Bangladesh sebagai negara yang bersinonim dengan bencana. Banjir, longsor dan gempa bumi adalah yang paling sering menghampiri negara tersebut. Lima tahun terakhir agaknya predikat tersebut disandang oleh kita, bangsa Indonesia. Sejak 2004 kita menyaksikan bagaimana gelombang tsunami telah menyapu daratan aceh, mengakibatkan hilangnya beratus ribu nyawa dan kerugian material yang fantastis. Menyusul gempa bumi hampir di seluruh pulau-pualu besar nusantara. Hujan yang seharusnya berkah malah menjadi bencana, luapan banjir merendam rumah-rumah di pulau Jawa, Kalimantan dan Sumatra. Sementara luapan air bah sudah tidak terkendali, berjuta juta kubik kayu hasil pembabatan hutan di pulau Kalimantan, Papua, Sumatera dan Sulwesi masih menjadi komoditas perdagangan kita, baik secara legal maupun ilegal.
Saya kira alam telah berbicara pada kita suatu bahasa yang keras, setelah sebelumnya berujar dengan lembut menyeru kita untuk bertafakur. Saya kira saat ini kita tengah berada di persimpangan jalan, apakah melanjutkan pola pembangunan yang selama ini memperkosa lingkungan hidup, ataukah berbalik arah, mencoba memperbaiki kesalahan kita terhadap alam dan kemudian membayarnya dengan tindakan-tindakan nyata.
Bandung memiliki kesadaran itu, maka upaya penghijauan yang tengah dilakukan dan antara lain rencana mengalihfungsikan bekas gedung Palaguna menjadi ruang terbuka hijau adalah ikhitiar melakukan dialog dan rekonsiliasi dengan alam. Kami anak-anak muda butuh kepemimpinan yang melihat dengan cakrawala jauh kedepan, bukan saja untuk dua, tiga atau lima tahun, namun sampai beberapa generasi di depan kami. Maka biarkanlah kami memiliki harapan akan kota yang asri, rindangnya pepohonan dan kiacuan riang burung-burung. Biarkanlah saya memiliki harapan bahwa suatu hari kelak, saya dapat melihat anak-anak saya bermain riang dan memetik bunga di taman-taman kota, berjalan menuju sekolahnya dinaungi oleh rindang pepohonan dan lantunan suara burung. Bukan seperti saya yang terperangkap di jalan banjir ketika hujan menerpa kota.
Semua perubahan besar dimulai dengan satu langkah awal, yang kadangkala langkah sederhana saja. Maka biarkanlah perubahan itu terjadi dari Bandung, biarkanlah plasa Palaguna yang sudah jadi rumah hantu itu berubah menjadi taman kota, menjadi rumah bagi burung-burung dan pepohonan, bukan kembali difungsikan sebagai mall. Kami dan anak-anak kami nanti butuh oksigen, butuh air, artinya kami butuh pohon, bukan rimba beton kaku yang mendesak kami menjadi pribadi-pribadi yang individualistis. Bandung sudah memiliki banyak, bahkan terlalu banyak mall. Semoga catatan ini sampai pada Pak Gubernur atau para anggota legislatif propinsi Jawa Barat dan kemudian merubah pendirian. Atau setidaknya, bagi yang membaca, agaknya inilah kegelisahan saya dan semoga menjadi kegelisahan kolektif, agar kita dapat bergerak bersama-sama, untuk kehidupan yang lebih baik. ADMIN
27 Februari 2010
Pemprop Jangan Bangun Mall Palaguna, Bangun Hutan Kota
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar