Oleh : Yuswari
PKD - Di banyak daerah di Indonesia, praktik korupsi banyak bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah. Lembaga eksekutif maupun legislatif, berpeluang “memanfaatkannya” karena tidak banyak masyarakat yang mempunyai akses langsung melihat APBD.
Sistem penganggaran masih elitis. Ini menyebabkan besarnya anggaran hanya untuk memenuhi kebutuhan aparatur pemerintah dan pembayaran utang. Di daerah, pengeluaran rata-rata untuk pegawai berkisar 35 sampai 60 persen dari total APBD. Alokasi dana ini tidak sebanding dengan kebutuhan untuk sektor pendidikan maupun kesehatan.
Di empat provinsi dan 23 kabupaten/kota, alokasi dana pendidikan sebesar 8,27 persen dan dana kesehatan 4,6 persen dari total APBD. Ini bukti urusan rakyat kalah dengan urusan perut aparat pemerintah. Besar kemungkinan, cita-cita mencapai MDGs (target pembangunan milenium) tahun 2015 tidak akan tercapai.
Adanya ketimpangan dalam penganggaran, secara nasional, menunjukkan tren yang sama. Pada 2007, sekitar 36 persen atau 181,5 triliun dana APBN dipakai untuk membiayai gaji pegawai. Pada 2008, belanja itu naik menjadi 38 persen setara dengan Rp 210,5 triliun. Kenaikan ini tidak sebanding dengan nilai anggaran pendidikan sebesar 7,05 persen pada 2007 dan 7,5 persen pada 2008. Begitupun dengan anggaran kesehatan yang kini hanya disediakan dana 2,8 persen dari total APBN.
Ketimpangan komposisi anggaran di daerah sudah sering kali terjadi. Kondisi ini terjadi lantaran masyarakat tak banyak tahu proses penganggaran yang berjalan. Sebagai contoh, belanja pegawai di suatu provinsi senilai Rp 546 miliar dari total APBD Rp 2,3 triliun. Nilai ini masih lebih besar dibandingkan anggaran pendidikan senilai Rp 102 miliar dan dana kesehatan Rp 153 miliar. Dibandingkan dengan tahun 2007, dana pendidikan malah turun senilai Rp 22 miliar. Adapun dana kesehatan naik Rp 21 miliar, sementara belanja pegawai melonjak sebesar Rp 106 miliar.
Persoalannya, mengapa budgeting system pada APBD menganut prinsip anggaran berbasis kinerja? Kalau berbasis kinerja berarti system alokasi anggaran dan laporannya asal sudah sesuai dengan peraturan-perundang-undangan. Bisa jadi perangkat undang-undang ditafsirkan secara kaku, sehingga kalau diukur sejauh mana system anggaran itu telah memberikan kesejahteraan rakyat, termasuk pengentasan kemiskinan, masih menjadi tanda Tanya besar. Jika komitmennya untuk kesejahteraan rakya, mengapa justru tidak menganut pola berbasis kesejahteraan rakyat ?
Selain itu, sumber korupsi dari APBD merupakan cara termudah. Modus umum yang sering dipakai adalah dengan menggelembungkan dana. Sementara mereka memanfaatkan ketidaktahuan masyarakat atas proses penganggaran ini karena partisipasi masyarakat sangat rendah. Sayang sekali, pemberantasan korupsi masih belum tuntas ke semua koruptor. Model pemberantasan korupsi masih dengan pola terapi kejut. ADMIN
11 Februari 2010
APBD : Sistem Anggaran Bersifat Elitis
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar