PKD = RAMADHAN 1430 H memang telah usai. Perayaan lebaran pun sudah berlalu, meskipun suasananya masih terasa sampai berhari-hari. Terbukti dengan masih banyaknya ucapan selamat lebaran kerap kita dapatkan melalui pesan singkat SMS dari saudara, teman, dan sahabat.
Bila kita perhatikan, antusias masyarakat dalam merayakan lebaran begitu sangat kontras dengan suasana khusu di-hari-hari sebulan sebelumnya dalam beribadat. Suasana penuh suka cita, di hari raya lebaran telah berubah menjadi suasana penuh konsumtif dan eforia. Kegembiraan yang dilampiaskan secara berlebihan seolah telah menjadi tradisi yang tidak bisa tidak, menjadi bagian pelengkap dalam prosesi perayaan lebaran. Pelampiasan dalam segala hal setelah sebulan penuh di rem, menjadi pemandangan sehari-hari, terutama dalam hal etika pergaulan sosial.
Pelaksanakan ibadat selama bulan ramadhan yang penuh kedisiplinan seolah tak berbekas sama sekali. Lihat saja dalam tayangan televisi, kini banyak mempertontonkan gaya hidup hedonisme yang memuja dunia materi dan syahwat, kerap muncul dengan berbagai variannya. Para artis sudah tak canggung lagi untuk mengumbar sensualitas dan keglamoran, padahal sebulan sebelumnya mereka tampil mengisi ruang media dengan atribut kesalehan.
Hawa nafsu sepertinya sudah mendapatkan tempat kembali dalam kehidupan sehari-hari, di rumah, di kantor bahkan, di sekolah perilaku menyimpang nampak jelas kita temukan ; orang tak mau lagi berbagi dengan saudaranya yang tak mampu, melupakan kesabaran disaat terkena musibah, bahkan kesenangan mendengar dan menonton gunjing atau gosip sudah menjadi keseharian kita.
Perayaan lebaran dalam suasana penuh suka cita memang tak bisa disalahkan tetapi seyogyanya kita tidak melupakan makna dan nilai dari ibadat shaum itu sendiri. Dalam salah satu hadis, Rosulullah bersabda ; “ada dua kegembiraan bagi orang yang shaum, pertama saat dia berbuka dan yang kedua saat Iedul Fitri tiba”. Tentu saja kegembiraan saat Iedul Fitri, bukan diartikan kegembiraan karena sebelas bulan kedepan, tidak ada kewajiban berpuasa dan bebas mengumbar hawa nafsu. Dalam makna yang lebih dalam, kegembiraan tersebut merupakan manifestasi kegembiraan orang yang berpusa atas janji Allah SWT, berupa kesucian layaknya bayi yang baru lahir, ampunan serta pahala surga.
ANTISIPASI DAN PENINGKATAN
Pemaknaan lebaran setelah kita ditempa kedisiplinan dengan membiasakan diri ibadat shaum, mengekang hawa nafsu dan seluruh ibadat lainnya, harus membuahkan antisipasi diri dan peningkatan ibadat serta budi pekerti berupa ; menjaga kesucian diri dan peningkatkan kualitas hidup, karena dibulan selanjutnya tak sedikit kita akan menjalani kehidupan yang penuh tantangan.
Menjaga kesucian diri berarti meninggalkan seluruh perbuatan tercela, baik tingkah laku ucapan atau pikiran. Dalam arti yang luas seluruh kehidupan kaum mukminin dalam sebelas bulan berikutnya adalah cerminan bulan Ramadhan, dimana mereka sekuat tenaga berupaya untuk tidak melakukan perbuatan yang dilarang oleh Allah SWT. Sungguh, sebelas bulan kedepan kita tidak lagi terjebak dengan istilah ‘ini bulan ramadhan-ini bukan bulan ramadhan‘, seolah bulan selain bulan ramadan, kita bisa berbuat seenaknya mengumbar hawa nafsu.
Buah dari ibadat Ramadhan harus membekas pada pribadi-pribadi mukminin berupa peningkatan kualitas ibadat dan amal salih. Rutinitas shaum, tarawih/qiyamullail sebulan penuh harus tercermin dalam sifat kesabaran dan ketaatan kepada Allah SWT dalam keseharian. Tadarus dan Ittikaf yang didawamkan harus menjadi kebiasaan kita untuk terus bergiat membaca, mencari ilmu dan merenungi seluruh penciptaan Allah SWT, karena seluruh dunia dan isinya merupakan ayat-ayat Allah yang patut kita perhatikan.
Begitupun sifat kedermawanan (filantropik) yang tercermin dalan infak, sidaqoh dan zakat, harus terus ditingkatkan, apalah artinya kita berbuat baik di bulan Ramadhan, jika di sebelas bulan berikutnya kita kikir dan tak mau berbagi. Sebelas bulan kedepan merupakan ladang terbuka bagi para dermawan atau agniya untuk terus berbagi dengan kaum fakir miskin, anak yatim dan dhuafa.
Dengan amal infak, sidaqoh dan zakat berarti kita sudah memberi kesempatan bagi kaum yang kurang mampu untuk memberdayakan dirinya, sehingga kebiasaan tersebut pada akhirnya mampu mengurangi jumlah kemiskinan, yang saat sekarang menjadi problema sosial-ekonomi bangsa-bangsa didunia tak terkecuali di Indonesia.
Dimensi lain dari sikap berbagi tersebut pada dasarnya, ikut berpartisipasi dalam peningkatkan kualitas sumberdaya manusia, karena tak sedikit manfaat dari ibadah ini dalam presfektif sosial maupun sprituil, seperti tersirat dalam salah satu hadis nabi “kemiskinan lebih dekat kepada kekufuran”.
Dalam kontek ini nabi ingin menegaskan bahwa tak sedikit orang menjadi kufur karena dirinya fakir. Oleh karena itu sifat kedermawanan berarti selain memberikan peluang bagi para agniya untuk meningkatkan kualitas hidup sosial, menggapai ridlo Allah SWT juga berperan dalam mencegah orang menjadi kufur, setelah dirinya (orang miskin) terberdayakan oleh kebaikan kaum dermawan.
Dalam hal peningkatan kualitas hidup dan budi pekerti, ba’da ibadah bulan ramadhan salah satu yang tak bisa di lepaskan dalam seluruh ritusnya adalah bersilaturahim dan bermaaf-maafan. Silaturahim dalam model mudik seperti di indonesia merupakan hal sangat lazim, disaat menjelang habisnya bulan Ramadhan. Tapi apapun namanya bersilaturahim dan bermaaf-maafan harus menjadi kebiasaan kita dalam berbagai situasi dan kondisi.
Bersilaturahim berarti menyambung tali kasih sayang dengan orang yang kita cintai dan sayangi tak terkecuali dengan orang yang memusuhi kita. Dalam salah satu hadis riwayat Al-baihaqy, Abu Hurairah bertanya kepada Rasulullah; ”Apakah budi pekerti yang baik itu, ya Rasulullah?. Rasulullah menjawab : Anda hubungi orang yang memutuskan silaturahim denganmu. Anda maafkan orang yang menganiyayamu dan Anda beri orang yang tidak mau memberimu.”
Wallau Alam
Oleh : Aep Alamsyah
22 September 2009
RAMADHAN BERBUAH KEBAIKAN
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar